Potret Pendidikan Indonesia

Program pendidikan wajib belajar 12 tahun yang dirintis Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2012 ini dinilai belum tersosialisasi dengan tidak meratanya sumber daya dan sarana untuk mencapai kesuksesan program tersebut. Saat ini, media banyak menyorot kisah anak – anak di beberapa wilayah di Indonesia yang sarana dan prasarana pendidikannya kurang layak. Contohnya saja berita yang ditayangkan di salah satu stasiun tv swasta mengenai ambruknya sekolah dasar di wilayah Sumatera Utara. Harapan dengan disorotnya hal itu membuat pemerintah lebih peduli dengan permasalahan ini dan tentunya segera mengatasi demi kelancaran proses pendidikan anak – anak Indonesia. 

Banyak sekolah di beberapa wilayah di Indonesia ambruk dan tidak layak pakai. Selain sarana gedung sekolah, akses untuk mencapai sekolah pun menjadi salah satu permasalahan untuk wajah pendidikan di Indonesia. Berita anak sekolah di Lebak, Banten harus melewati jembatan runtuh sungai Ciberang untuk mencapai sekolah karena tidak ada akses lain untuk menuju sekolahnya dan robohnya bangunan SDN Banggle, Kecamatan Ngadiluwih, Kediri yang menyebabkan kegiatan belajar mengajar terganggu merupakan beberapa kasus yang telah disorot. Kasus lain, ruangan kelas yang dipakai oleh dua kelas sekaligus karena tidak ada ruangan kelas lagi yang bisa dipakai sudah tidak aneh lagi kita lihat di beberapa berita di stasiun tv. Semua itu menjadi permasalahan klasik yang sudah ada sejak dulu hingga kini. 

Pemerintah lebih sibuk mengganti kurikulum pendidikan ketimbang memperbaiki sekolah dan akses menuju sekolah yang seharusnya lebih didahulukan. Menurut Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tahun dari 1978 sampai 1983 "Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik yang sesuai dengan martabat manusia," dengan demikian pendidikan penting dan harus didahulukan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Saat kita melamar pekerjaan, hal yang pertama dilihat dari surat lamaran pekerjaan pasti pendidikannya terlebih dahulu. Sarana gedung sekolah harus didahulukan karena apabila gedungnya tidak ada bagaimana proses belajar bisa dilakukan. Selain sarana, sumber daya pengajar juga sangat penting. Sarjana pendidikan di Indonesia sebenarnya banyak, namun pemerataan sumber daya pengajar belum merata. Untuk di kota besar, sumber daya pengajar banyak ditemui tetapi untuk di daerah terpencil, sumber daya pengajar sangat  terbatas. Beberapa daerah terpencildi Indonesia kekurangan guru, ada satu sekolah hanya ada tiga guru yang harus mengajar enak kelas. Pemerataan sarana dan sumber daya merupakan pekerjaan rumah untuk pemerintah dalam bidang pendidikan di Indonesia ini apalagi untuk daerah terpencil harus lebih diperhatikan agar pemerataan pendidikan dan program wajib belajar 12 tahun bisa tersosialisasi. 

Berdasarkan anggaran pendidikan dalam APBN 2009 mengenai besar anggaran pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Angka tersebut sebenarnya cukup besar tetapi tanpa adanya penyelewangan dana tersebut. Pasal 34 ayat 3 yang berisi bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, sesuai dengan itu maka pemerintah bertanggung jawab dalam penyediaan fasilitas dalam pendidikan. 

Rencana kenaikan anggaran pendidikan APBN 2012 yang dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat sambutan pada peringatan hari guru dan hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia di Sentul International Convention Centre, Bogor 30 November 2011 lalu diharapkan dapat mensosialisasikan program wajib belajar 12 tahun dengan meningkatkan kualitas sistem dan pembangunan di bidang pendidikan. 

Dari isi pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa wajib belajar juga merupakan tanggung jawab dari masyarakat, kini hal itu bisa kita lihat. Banyak program – program pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat, sebut saja Butet Manurung, lulusan jurusan antropologi 1998 Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Setelah dia lulus, dia membaca pengumuman di sebuah harian nasional yang mencari relawan untuk hutan di Jambi. Dia mengabdikan dirinya sebagai pengajar di suku – suku di pedalaman Jambi. Dia adalah salah seorang pelopor berdirinya Soloka atau sekolah untuk anak-anak Rimba di Hutan Bukit Dua Belas Jambi. Baca, tulis dan hitung yang dia ajarkan kepada anak – anak suku pedalaman. Proses yang tidak cepat dan mudah untuk memberikan pendidikan kepada anak – anak ini, dia harus beradaptasi lama terlebih dahulu sampai akhirnya dia bisa memberikan pendidikan kepada mereka. Atas kegigihannya, dia dianugerahi Man and Biosfer Award 2001, Woman of the Year bidang pendidikan AnTV 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award 2005 dan Ashoka Award 2005, Ashoka Fellow 2006 dan Young Global Leader Honorees 2009. Hal yang dilakukan Butet memberikan inspirasi bagi orang – orang yang mengetahui kisahnya. 

Program pendidikan lainnya yang digagas oleh seorang Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan. Program yang bernama Gerakan Indonesia Mengajar bertujuan untuk mengisi kekurangan guru berkualitas Sekolah Dasar di daerah terpencil. Awalnya dia mengajak temannya untuk membentuk Gerakan Indonesia Mengajar dan memajukan pendidikan di Indonesia dengan mengirimkan sarjana terbaik untuk mengajar di Sekolah Dasar  daerah terpencil Indonesia. Untuk pengajar yang dikirimkan ke beberapa wilayah seperti Kabupaten Bengkalis Riau, Kabupaten Tulang Bawang Barat Lampung, Kabupaten Paser Kalimantan Timur, Kabupaten Majene Sulawesi Barat dan Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara, dilakukan proses seleksi ketat. Dari 1.383 pelamar hanya 51 orang yang diberangkatkan. Pembentukan motivasi, keterampilan, kepemimpinan, kemandirian, adaptasi dan pengetahuan yang dimiliki pengajar menjadi modal untuk menjadi pengajar di Gerakan Indonesia Mengajar. 

Semoga masyarakat Indonesia yang lain bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Tanggung jawab Pemerintah dan masyarakat terhadap kemajuan pendidikan yang berdasarkan ajaran dari Ki Hajar Dewantara seorang tokoh pendidikan Indonesia, “Ing Ngarso Sung Tuladha,” berarti siapa yang di depan harus memberi contoh, “Ing Madyo Mangun Karso,” berarti siapa yang di tengah, dia ikut membantu, membantu yang di atasnya dan membimbing yang di bawahnya dan “Tut Wuri Handayani” berarti siapa yang di belakang mengikuti/mendukung yang di atasnya. 



*Penulis, Anggota Muda LPM Jumpa

1 komentar: