Sudah
menjadi hajat di negeri ini, ketika menjelang 3 bulan setelah awal
semester genap berjalan semua sekolah menyibukkan diri untuk
mempersiapkan Pesta Hajatan Besar Negara ini. Ya, apalagi kalu bukan
Pesta Ujian Nasional yang diadakan pemerintah pusat baik dari tingkat
Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Ujian Nasional ini merupakan
syarat mutlak terakhir yang harus diselesaikan oleh siswa untuk
mendapatkan kelulusan selama menempuh pendidikan minimal 3 tahun atau 6
semester dari kelas 1 sampai kelas 3. Pemerintah setiap tahun selalu
menaikkan tingkat kriteria kelulusan minimal yang harus didapatkan oleh
siswa agar siswa tersebut dapat dinyatakan "lulus". Dengan metode
penilaian yang berbeda setiap tahunnya pemerintah menyatakan bahwa nilai
minimal tersebut adalah merupakan patokan/ standar untuk sebuah
penilaian tingkat kualitas SDM.
2 Tahun belakangan ini, pemerintah menentukan metode penilaian dengan 2
bobot, yaitu 60% dari bobot nilai Ujian Nasional dan 40 % dari nilai
rata2 raport dari semester 1 sampai dengan 5. Dengan penjumlahan 2 bobot
nilai ini maka akan di dapatkan 'Nilai Akhir' yang akan menentukan
siswa tersebut dinyatakan Lulus/Tidak Lulus.
Permasalahannya adalah benarkan Penentuan nilai minimum yang harus
didapatkan siswa merupakan syarat penentuan kualitas SDM anak bangsa di
negeri ini?. Ujian Nasional terkadang menjadi 'momok' tersendiri bagi
semua siswa dan terkadang dapat menjadikan 'bomerang' bagi siswa itu
sendiri disaat dirinya tak siap mental saat menghadapi Ujian Nasional.
Maka tidak menutup kemungkinan seorang siswa yang sangat cerdas
sekalipun dapat gagal disaat Ujian Nasional.
Kembali ke judul tulisan diatas, 'Ujian Nasional sebagai Ujian
Kecerdasan atau Ujian Kebohongan?'. Kenapa Judul diatas menjadi pokok
yang harus dibicarakan?. Ya, terkadang Ujian Nasional ini memang
menentukan kecerdasan siswa nya dalam menjawab soal-soal yang
diterbitkan oleh pemerintah Pusat, tetapi itu tidak jarang juga menjadi
Ujian Nasional bagi para guru-guru disekolah masing-masing. Sekilas,
berdasarkan konsep tersuratnya UN tidak lebih hanya bentuk ujian akhir
bagi anak sekolah dengan standarisasi nasional. Selebihnya jika
diperhatikan dengan seksama akan semakin tampaklah bahwa UN mempunyai
kekuatan magis yang bisa menyihir siapapun. Mulai dari peserta didik,
emak-abahnya, para guru, kepala sekolah, sampai kepada pimpinan daerah
dan negeri ini.
Daya sihir yang dahsyat itu akan menimbulkan daya magnetik seiring
dengan semakin dekat waktu pelaksanaanya. Kesibukan demi kesibukan silih
berganti. Mulai dari persiapan dengan pengadaan Bimbel, Try Out,
Motivasi, Uji Soal-soal, Latihan Ujian Nasional dan lain-lainnya.
Berdaya atau tidak, namun semuanya menyatu dalam satu hasrat ‘lulus’.
Namun bicara UN tidak sekedar bicara lulus atau tidak. Ada sebuah
universalitas sikap yang harus dijaga disana. Salah satunya kejujuran!
Ketika kejujuran sudah digadaikan hanya sebuah nilai dan pencitraan,
berarti kita sudah menyiapkan tanah perkuburan atas nama pendidikan
Indonesia.
Berhasil atau tidaknya sistem penyelenggaraan UN ini bukan di lihat dari
segi jumlah persentase kelulusan yang dikatakan oleh pemerintah pusat
selalu mengalami kenaikan dalam setiap tahunnya. Berhasil nya
penyelenggaraan UN ini adalah ketika Ujian Nasional ini disertai dengan
Ujian Kejujuran baik dari siswa, guru, dinas, pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat. Ujian yang benar-benar dilakukan oleh para siswa
dengan mengukur kemampuan siswa tersebut dalam menyelesaikan soal-soal
yang disediakan, bukan hasil dari kerja keras guru dalam mengerjakan dan
memberikan jawaban tersebut kepada siswa. Meskipun pemerintah selalu
mengatakan tidak adanya kebocoran soal-soal dan kedisiplinan terhadap
pengawasan pendistribusian soal dan pengawasan pada saat ujian
berlangsung, kenyataaan tetap saja selalu beredar jawaban-jawaban yang
diterima oleh para siswa.. Dengan kondisi yang seperti ini, disadari
atau tidak, UN ini sebagai Ujian kebohongan bukan sebagai ujian
kecerdasan siswa..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar